Beranda | Artikel
SALAFI BUKAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH?
Senin, 12 Januari 2009

Sebuah kritik atas kedustaan website al-ikhwan.net

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek-sejelek perkara adalah bid’ah, setiap bid’ah pasti sesat. Amma ba’du.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki untuk kalian amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. al-Ahzab : 70-71).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk baginya dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ : 115).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah (hai Muhammad); Inilah jalanku! Aku berdakwah mengajak [manusia] menuju Allah di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku, dan Maha suci Allah aku bukan termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf : 108).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat/ketulusan.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Untuk Allah, rasul-Nya, Kitab-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan untuk segenap rakyatnya.” (HR. Muslim).

Sesungguhnya para ulama salaf [baca: ulama terdahulu] –semoga Allah menjadikan kita sebagai pengikut mereka yang sejati- telah mengajarkan kepada kita untuk bersikap lapang dada menerima kebenaran. Sudah sangat akrab dalam telinga kita ucapan mereka, “Apabila suatu hadits terbukti sahih maka itulah madzhabku.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah mengatakan, “Barangsiapa menentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” Imam asy-Syafi’i rahimahullah juga mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya untuk meninggakan hal itu gara-gara mengikuti pendapat siapa saja.” (bacalah atsar-atsar ini dalam mukadimah Shifat Sholat Nabi karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah).

Oleh sebab itulah sebagai bentuk nasehat kepada saudara kami sesama kaum muslimin yang merindukan kebenaran dan keridhaan ar-Rahman, dalam kesempatan ini kami ‘terpaksa’ menyajikan tulisan yang cukup pedas ini kepada khalayak. Salah seorang tokoh gerakan dakwah –semoga Allah menunjukinya- pernah mengatakan ungkapan yang tidak layak untuk kita ingkari, “Maka tidak ada seorang pun yang boleh merasa lebih tinggi sehingga tak boleh untuk dibantah… dan tidak ada seorang pun yang boleh menyombongkan diri terhadap kebenaran [yang datang]…” (Ucapan Salman al-Audah, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi hafizhahullah dalam Mukadimah Su’al wa Jawab haula Fiqh al-Waqi’, hal. 15).

Saudaraku sekalian –semoga Allah melapangkan dada kita untuk mengikuti kebenaran- sesungguhnya kadzib atau dusta adalah salah satu akhlak tercela yang diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga mempertahankan kebodohan adalah salah satu karakter jahiliyah yang tidak pantas untuk dilestarikan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apayang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perkara-perkara yang keji yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa alasan yang benar, kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang sama sekali tidak Allah turunkan bukti atasnya, dan [Allah juga mengharamkan] kalian berbicara tentang Allah apa yang kalian tidak ketahui ilmunya.” (QS. al-A’raaf : 33).

Sebuah perkara yang sudah demikian jelas bagi umat Islam dan para ulamanya bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik dalam hal aqidah, akhlaq, ibadah, jihad, maupun dalam hal dakwah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama berjasa bagi umat Islam yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah : 100). Salaf adalah generasi terdahulu umat ini dari kalangan Muhajirin dan Anshar, para tabi’in dan juga tabi’ut tabi’in. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku [para sahabat], kemudian sesudahnya [tabi’in], kemudian sesudahnya lagi [tabi’ut tabi’in].” (HR. Bukhari dan Muslim). Suatu ketika beliau juga bersabda kepada Fathimah radhiyallahu’anha, “Sesungguhnya sebaik-baik salaf/pendahulu untukmu adalah aku.” (HR. Muslim).

Imam al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti jejak para salaf (sahabat), dan jauhilah pendapat akal orang-orang itu meskipun mereka menghias-hiasinya di hadapanmu dengan ucapan yang indah.” Imam adz-Dzahabi rahimahullah ketika memuji Imam ad-Daruquthni rahimahullah yang enggan untuk mendalami filsafat, beliau berkata, “Beliau [ad-Daruquthni] adalah seorang salafi.” Maka salafi adalah penisbatan kepada generasi terbaik umat ini. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Bukanlah suatu aib bagi orang yang menampakkan madzhab salaf [secara terang-terangan] dan merasa mulia dengannya. Bahkan pernyataannya itu wajib diterima, dikarenakan madzhab salaf itu tidak lain merupakan kebenaran itu sendiri.” (bacalah Limadza ikhtartul manhaj salafy karya Syaikh Salim al-Hilali). ash-Shabuni rahimahullah –seorang ulama yang sangat terkenal- pun telah menulis kitabnya yang sangat masyhur dalam hal aqidah yaitu Aqidah Salaf Ash-habul Hadits. Bahkan, salah seorang tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin di negeri ini pun mengakui bahwa salafi merupakan penisbatan yang terpuji, sebuah upaya merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush shalih, itulah salafi, sebagaimana yang ditegaskan di dalam pernyataan ittijah fiqih Dewan Syari’ah Partai Keadilan [ataukah mereka mengatakan bahwa dalam hal fiqih ittijah mereka salafi namun dalam hal aqidah tidak salafi?].

Oleh sebab itu, sungguh perkara yang aneh bin ajaib dan sangat memprihatinkan ketika salah satu penulis mereka mengatakan dengan tanpa malu di dalam artikelnya yang mengupas tentang aqidah dan mengungkapkan nama lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, saudaraku tersebut [yang tidak menyebutkan nama aslinya] –semoga Allah menyadarkannya- mengatakan, “Adapun istilah yang sekarang coba dipopulerkan oleh sebagian orang, yaitu istilah Salaf ataupun Salafi, maka itu tidak aku temukan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka tidak perlu dihiraukan sedikitpun.” (Dirasat Fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah, rubrik Tsaqafah Islamiyah, oleh: Abi AbduLLAAH. Dipublikasikan pada 29/1/2007 / 10 Muharram 1428 H).

Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. Ini jelas merupakan kedustaan atas nama al-Kitab, as-Sunnah, dan kitab-kitab ulama salaf. Allah lah yang menjadi saksi, sebelum mempublikasikan tulisan ini kepada khalayak saya telah mengirimkan minimal dua kali kritik dan komentar kepada mereka untuk meluruskan hal ini [komentar saya yang pertama sudah pernah saya kirimkan sejak beberapa waktu yang silam, dan saya berharap setelah itu terdapat kemajuan, namun dengan takdir Allah beberapa waktu lamanya saya tidak lagi membukanya dan kini dengan tampilan barunya ternyata tulisan itu tidak berubah satu kata pun!]. Namun kiranya tanggapan saya tidak mereka perhatikan. Maka dari itu, saya harus mengemukakan kekeliruan ini kepada para pembaca sekalian agar saudara-saudara kita yang lain tidak ikut terpedaya oleh kepalsuan dan kekeliruan yang diserukan oleh sebagian manusia. Saya berharap dengan sangat agar penulis artikel tersebut meralat ucapannya yang sangat fatal dan bahkan bertentangan dengan pernyataan tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri, dan yang lebih menyedihkan adalah ternyata apa yang ditulisnya bertentangan dengan al-Kitab, as-Sunnah dan perkataan para a’immah! Laa haula wa laa quwwata illa billaah!

Sadarlah wahai para pemuda! Islam tidak mengenal prinsip tujuan menghalalkan segala cara. Di dalam Islam dusta adalah perbuatan dosa yang sangat besar. Oleh sebab itu para ulama hadits masih tetap menerima riwayat ahlu bid’ah selama dia tidak mengajak kepada bid’ahnya dan tidak dikenal berdusta. Bahkan, para pendusta itu lebih hina dalam pandangan mereka [ulama ahli hadits] daripada kaum ahlu bid’ah. Maka mereka tidak segan-segan untuk menggelari para tukang dusta itu dengan ‘Kadzdzab’,’ Dajjal’ dan lain sebagainya demi terpeliharanya keutuhan dan kemurnian hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ajaran Islam dari berbagai kotoran penyimpangan.

Oleh sebab itu wahai saudaraku, tegakkanlah keadilan yang sering kalian dengung-dengungkan itu, belalah kebenaran dan kejujuran yang sering kalian serukan itu, bersikaplah terbuka dan jangan taklid buta, berpikirlah dengan jernih, “Apakah kalian perintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan sementara kalian melupakan diri kalian sendiri?”. Janganlah seperi ahli kitab yang ‘ngotot’ menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya. Aduhai, tidakkah kalian ingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dusta, sesungguhnya dusta akan menyeret kepada perbuatan fajir, dan sesungguhnya perbuatan fajir akan menyeret menuju neraka. Sesungguhnya apabila seseorang selalu berbuat dusta maka di sisi Allah orang itu akan tercatat sebagai seorang pendusta. ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Silakan anda menilai -wahai saudaraku yang bijak- siapakah yang layak untuk kita hiraukan? Hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan ucapan para ulama ataukah perkataan tanpa dasar yang sangat arogan semacam itu, “Adapun istilah yang sekarang coba dipopulerkan oleh sebagian orang, yaitu istilah Salaf ataupun Salafi, maka itu tidak aku temukan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka tidak perlu dihiraukan sedikitpun.” (Dirasat Fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah, rubrik Tsaqafah Islamiyah, oleh: Abi AbduLLAAH. Dipublikasikan pada 29/1/2007 / 10 Muharram 1428 H). Ini adalah ucapan yang sangat arogan, belum pernah kita dengar ada di antara ulama salaf yang mengatakan demikian.

Kalau hadits Nabi dan keterangan para ulama tidak perlu dihiraukan, maka ucapan siapa lagi yang akan kita ikuti wahai saudaraku? Benarlah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah; Maukah aku kabarkan kepada kalian orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi : 103-104). Sungguh benar ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak mendapatkannya.”

Sebagai nasehat terakhir, renungkanlah kandungan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki untuk kalian amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. al-Ahzab : 70-71). Semoga lisan-lisan kita terjaga dari dusta, demikian pula pena yang kita goreskan, ingatlah bahwa semuanya dicatat oleh malaikat dan setiap kita akan ditanya tentang apa yang telah diperbuatnya di alam dunia. “Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu batil serta karuniakan kepada kami kemampuan untuk menjauhinya.” “Ya Allah, janganlah Kau sesatkan hati kami setelah Kau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha pemberi karunia.” Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

Selesai disusun di Yogyakarta, 15 Muharram 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya

Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah menerima amalnya


Artikel asli: http://abumushlih.com/salafi-bukan-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html/